
Apakah Sertifikasi Kakao Ramah Lingkungan Benar-Benar Berdampak?
Sertifikasi “hijau” atau ramah lingkungan kini makin sering kita temui di kemasan produk sehari-hari—mulai dari kopi, teh, hingga cokelat. Label seperti Rainforest Alliance (RA) menjadi simbol jaminan bahwa produk tersebut dihasilkan melalui praktik pertanian yang berkelanjutan. Sertifikasi ini diklaim tidak hanya memastikan pekerjaan yang layak bagi petani, tetapi juga mendorong pelestarian lingkungan dan kualitas produk yang tinggi. Dalam konteks kakao, hal ini berarti kebun yang lebih ramah terhadap alam, pekerja yang terlindungi haknya, dan hasil panen yang memenuhi standar mutu.
Namun, di balik label hijau yang tampak menjanjikan, muncul pertanyaan penting: apakah benar sertifikasi ini berdampak nyata pada alam, khususnya dalam konteks kebun kakao di Indonesia? Apakah kebun yang bersertifikat benar-benar lebih baik dalam hal perlindungan lingkungan dan keanekaragaman hayati? Atau justru, label ini hanya sebatas strategi pemasaran tanpa bukti lapangan yang kuat?
Penelitian terbaru dari Sulawesi mencoba menjawab pertanyaan tersebut.

Studi Lapangan di Sulawesi
Peneliti dari IPB University dan KU Leuven, Belgia, melakukan studi di Luwu Timur, Sulawesi, yang merupakan salah satu sentra produksi kakao terbesar di Indonesia. Mereka membandingkan 31 kebun kakao bersertifikat Rainforest Alliance dan 31 kebun tanpa sertifikat, dengan fokus pada tutupan pohon pelindung (shade trees) dan keanekaragaman burung sebagai indikator kesehatan ekosistem.
Selama penelitian, tim mengukur struktur vegetasi, kesuburan tanah, serta melakukan pengamatan burung menggunakan metode penghitungan di lapangan. Mereka juga menggunakan data satelit dan pemetaan digital untuk mengetahui tutupan hutan sekitar kebun.
Hasil Mengejutkan: Sertifikasi Belum Tentu Lebih Baik
Hasilnya mungkin di luar dugaan banyak orang. Kebun kakao bersertifikat RA ternyata tidak menunjukkan tutupan pohon pelindung yang lebih tinggi, keanekaragaman jenis pohon yang lebih kaya, ataupun tanah yang lebih subur dibanding kebun non-sertifikasi. Keberagaman jenis burung memang sempat tercatat lebih tinggi di kebun bersertifikat, tetapi efek ini menghilang setelah memperhitungkan faktor ketinggian tempat dan umur kebun.
Mayoritas burung yang ditemukan adalah spesies yang toleran terhadap perubahan dan bukan burung khas hutan primer. Bahkan, terdapat beberapa kebun bersertifikat yang sama sekali tidak memiliki pohon pelindung di area sampel, padahal Rainforest Alliance mensyaratkan minimal 15% tutupan vegetasi alami setelah enam tahun sertifikasi. Hal ini mengindikasikan standar belum sepenuhnya ditegakkan atau dimonitor.
Manfaat Sertifikasi: Lebih Ke Ekonomi daripada Lingkungan?
Penelitian ini juga menemukan bahwa petani kebun kakao bersertifikat umumnya lebih sering mendapatkan pelatihan dan menggunakan teknik pertanian yang lebih maju, misalnya teknik sidegrafting. Namun, dari sisi lingkungan, manfaat nyata sertifikasi belum terlihat secara signifikan.
Para penulis studi menyoroti bahwa motivasi sertifikasi mungkin lebih didorong kebutuhan pasar dan keuntungan ekonomi
Apa Artinya bagi Konsumen dan Konservasi?
Temuan ini menjadi pengingat penting bagi kita semua: Label ramah lingkungan pada produk pertanian perlu dikritisi lebih jauh. Tidak semua sertifikasi otomatis berarti praktik di lapangan sudah benar-benar mendukung pelestarian alam. Masih dibutuhkan standar yang lebih ketat, pengawasan lebih kuat, dan upaya kolaboratif lintas sektor agar pertanian berkelanjutan benar-benar memberikan manfaat bagi keanekaragaman hayati, bukan hanya citra baik di kemasan.
Peneliti juga merekomendasikan agar ke depannya, studi serupa memperluas cakupan ke jenis sertifikasi lain dan wilayah berbeda, serta memasukkan aspek sosial-ekonomi petani dalam analisis. Dengan begitu, kita bisa benar-benar menilai apakah sertifikasi ramah lingkungan memang solusi terbaik untuk keberlanjutan pertanian—atau sekadar label pemanis di pasar global.
Referensi: Dröge, S., dkk. (2025). No effect of Rainforest Alliance cocoa certification on shade cover and bird species richness in Sulawesi, Indonesia. Journal for Nature Conservation, 84, 126849. https://doi.org/10.1016/j.jnc.2025.126849
Gambar tersematkan oleh Freepik
Infografis dibuat oleh ChatGPT dengan lisensi Plus