
Ketika Harimau Sumatra Dipindahkan: Jejak, Rumah Baru, dan Tantangan Hidup
Harimau Sumatra, si raja hutan yang makin sulit ditemukan, kini menghadapi tantangan besar untuk tetap bertahan hidup. Ketika konflik antara manusia dan satwa liar tak terhindarkan, salah satu solusi yang diambil adalah memindahkan (translokasi) harimau dari wilayah konflik ke kawasan konservasi. Tapi, apakah benar solusi ini efektif?
Sebuah riset terbaru yang dilakukan di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) mencoba menjawab pertanyaan itu. Dengan memasang GPS collar pada seekor harimau jantan dewasa yang dipindahkan, para peneliti merekam lebih dari 3.000 titik koordinat selama lima bulan untuk memahami bagaimana harimau tersebut menjelajah dan menyesuaikan diri di habitat barunya.
Waktu Favorit Si Raja Hutan: Terungkap Lewat Analisis Spasial
Tak hanya kamera jebak dan pengamatan langsung, kini pergerakan harimau bisa diungkap lewat teknologi analisis spasial. Dalam studi ini, peneliti memanfaatkan data dari GPS collar yang dipasang pada harimau translokasi untuk melacak pola pergerakannya selama 161 hari.

Dari ribuan titik koordinat yang terkumpul, diketahui bahwa waktu paling aktif harimau bergerak adalah di pagi hari, antara pukul 06.00 hingga 09.00. Melalui analisis spasial, ditemukan bahwa dalam periode waktu tersebut, harimau menempuh jarak rata-rata hingga 51 kilometer — sebuah angka yang menunjukkan aktivitas intens dalam mencari mangsa atau menjelajah wilayah baru.
Pembagian waktu dalam sehari dipecah menjadi delapan interval, dan masing-masing dianalisis untuk melihat kapan dan sejauh mana harimau bergerak. Pola ini tidak hanya membantu memahami perilaku harian sang predator puncak, tetapi juga menjadi dasar penting dalam menyusun strategi konservasi berbasis ruang.
Dengan menggunakan pendekatan spasial, para peneliti dapat mengaitkan data waktu dengan bentang alam yang dijelajahi: apakah harimau lebih aktif di dekat tepi hutan, dalam tutupan vegetasi rapat, atau justru di lahan pertanian terbuka. Hasilnya: harimau tampak cerdas dalam memanfaatkan ruang, memilih waktu dan lokasi yang memberikan peluang terbesar untuk berburu sambil tetap menjaga jarak aman dari aktivitas manusia.
Sejauh Mana Sang Raja Menjelajah?
Dengan bantuan teknologi GPS dan metode analisis spasial seperti Minimum Convex Polygon (MCP) dan Fixed Kernel (FK), para peneliti memetakan wilayah jelajah harimau pasca translokasi. Hasilnya mengejutkan: harimau jantan dewasa ini membentuk home range hingga 492 km², namun inti wilayah yang paling sering dikunjungi hanya sekitar 12,5 km² saja.

Lewat analisis spasial, terungkap bahwa harimau lebih sering menjelajah ke tepi-tepi hutan, bahkan hingga ke wilayah pertanian. Ini memberi sinyal penting: meski telah dilepasliarkan di kawasan konservasi, harimau cenderung menghindari area rilis awal dan lebih memilih zona peralihan antara hutan dan area terbuka — sebuah area yang secara ekologis kaya akan mangsa, tapi juga penuh risiko interaksi dengan manusia.
Dengan pemodelan berbasis titik koordinat harian, pergerakan harimau selama 17 minggu pertama menunjukkan pola eksplorasi intens sebelum akhirnya menetap. Pola ini penting untuk memetakan zona rawan konflik sekaligus area yang layak dijadikan habitat permanen.
Di Mana Habitat Ideal Itu?
Pertanyaan paling krusial dalam upaya translokasi adalah: di mana sebenarnya habitat terbaik untuk harimau? Untuk menjawabnya, para peneliti menggunakan model prediksi habitat berbasis machine learning: Maxent (Maximum Entropy Modeling). Model ini memetakan kemungkinan kehadiran harimau berdasarkan karakteristik bentang alam yang ada.
Melalui analisis spasial yang memadukan data GPS dengan citra satelit dan indeks lanskap (seperti Total Edge, Class Area, Edge Density, hingga Elevation), didapatkan peta kesesuaian habitat yang terbagi dalam empat kelas: tidak sesuai, sesuai rendah, sedang, dan tinggi.

Hasilnya mengkhawatirkan: 66% dari kawasan penelitian tergolong tidak sesuai, hanya 5% yang benar-benar ideal bagi harimau. Dan yang paling berpengaruh dalam model? Lagi-lagi, tepi hutan menjadi penentu utama, menyumbang 35,5% kontribusi dalam model. Zona transisi antara hutan dan lahan terbuka terbukti menjadi favorit tidak hanya bagi harimau, tetapi juga mangsanya — seperti rusa, kijang, dan babi hutan.

Analisis spasial dalam model ini menunjukkan betapa pentingnya konfigurasi lanskap. Fragmentasi hutan, bentuk dan ukuran patch, hingga ketinggian dan kemiringan lereng — semuanya berperan menentukan apakah suatu area layak dihuni harimau atau tidak.
Implikasi Konservasi: Pindah Tempat Tak Cukup
Hasil penelitian ini menyadarkan kita bahwa memindahkan harimau bukan sekadar melepasnya ke hutan manapun. Dibutuhkan pendekatan spasial yang cermat dan berbasis data, mulai dari analisis lanskap, ketersediaan mangsa, hingga eksistensi harimau lain yang mungkin sudah menghuni area tersebut.
Tanpa itu, harimau akan tersesat di habitat yang tak ramah, berisiko masuk ke ladang warga, atau bahkan terjebak jerat pemburu. Maka, penting untuk merancang koridor satwa — jalur penghubung antar fragmen hutan — agar harimau dapat bermigrasi secara alami tanpa harus melintasi wilayah manusia.
Analisis spasial juga bisa jadi alat ampuh untuk memetakan konflik manusia-harimau, mengidentifikasi zona buffer, dan menentukan prioritas wilayah konservasi. Ini bukan hanya tentang harimau — ini soal bagaimana manusia bisa hidup berdampingan dengan predator puncak dalam lanskap yang terus berubah.
Referensi:
Pahlevi F. R., Prasetyo L. B., & Priatna D. (2025). Movement Patterns and Habitat Suitability of Translocated Sumatran Tigers (Panthera tigris sumatrae). Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan (Journal of Natural Resources and Environmental Management), 15(2), 313. https://doi.org/10.29244/jpsl.15.2.313